Sabtu, 25 Desember 2010

makalah agama 5

BAB II

PEMBAHASAN





II.1. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan

Pemimpin dan kepemimpinan ibarat mata uang, dapat berfungsi jika kedua sisinya utuh dan saling mengisi. Bila salah satunya tidak ada maka tidak dapat berfungsi sebagaimana yang kita harapkan. Untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah, memerlukan perjuangan, pengorbanan danpembelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan pemimpin dan kepemimpinannya itu.



II.1.1.Pengertian Pemimpin

Pemimpin adalah pribadi yang memiliki ketrampilan teknis, sehingga mampu mempengaruhi atau menggerakan orang lain untuk bersama-sama melakukan suatu aktifitas demi tercapainya satu atau beberapa tujuan organisasi tersebut. menggerakan orang bermakna, menjadikan para bawahan sadar akan tugas yang diembannya tanpa menunggu perintah atasannya. Ini bukanlah hal yang mudah, sehingga seorang pemimpin perlu memiliki kecakapan, ketekunan, keuletan, pengalaman serta kesabaran, dan juga mampu mengetahui watak bawahannya. Lebih jauh mengenai syarat-syarat seorang pemimpin kami bahas sebagai berikut:

Syarat-syarat seorang pemimpin:

1. Intelegensi, yaitu kemampuan dalam mengobservasi pengetahuan,dan menghadapi situasi

baru.Dengan intetegensi tinggi memungkinkan seorang pemimpin untuk mengambil

keputusan secara tepat dan cepat.

2. Karakter, adalah sifat-sifat kepribadian yang berhubungan dengan nilai-nilai. Karakter ini

dapat dilihat dari kesungguhan, kejujuran dan kepercayaaan.

3. Kesiapsiagaan adalah selalu awas dan waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi.

Selain tiga syarat yang disebutkan diatas, untuk dapat menjadi seorang pemimpin yang baik, hendaknya memiliki sifat-sifat yang lebih dari seseorang yang dipimpinnya, yaitu:

a. Kelebihan kemampuan dalam mempergunakan rasio atau pikiran.

b. Kelebihan dalam bidang rohaniah.

c. Kelebihan dalam bidang jasmaniah.



II.1.2. Pengertian Kepemimpinan

Istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin yang artinya bimbing atau tuntun. Kepemimpinan ialah suatu seni untuk menggerakkan orang lain untuk mrncapai tujuan tertentu atau tujuan bersama. Kepemimpinan juga dapat diistilahkan sebagai ilmu tentang cara membimbing atau menuntun. Berikut merupakan ciri- ciri kepemimpinan yaitu:

1. Kepemimpinan mengarah pada kemampuan individu, yaitu kemampuan dari seorang

pemimpin, bukan mengarah pada sistem atau mekanisme kerja.

2. Kepemimpinan adalah kualitas interaksi antara si pemimpin dengan pengikut dalam

situasi tertentu. Hal ini mengandung makna bahwa kepemimpinan menekankan pada

pengaruh terhadap pengikut.

3. Kepemimpinan menggantungkan diri pada sumber-sumber yang ada dalam dirinya

( kemampuan dan kesanggupan) untuk mencapai tujuan.

4. Kepemimpinan diarahkan untuk mewujudkan keinginan si pemimpin, meskipun pada

akhirnya mengarah pada tercapainya tujuan organisasi.

5. Kepemimpinan lebih bersifat hubungan personel yang berpusat pada diri si pemimpin,

pengikut dan situasi.







II.2. Tugas dan Wewenang Seorang Pemimpin

Tugas dan wewenang atau hak dan kewajiban seseorang adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan karena tidak ada tugas yang dapat dikerjakan seseorang tanpa adanya wewenang. Dan sebaliknya, tidak ada wewenang yang diperoleh seseorang tanpa mendapat tugas atau kewajiban yang mesti dikerjakan. Seorang pemimpin hendaknya melaksanakan tugas sesuai dengan wewenangnya.



II.2.1.Tugas Seorang Pemimpin

Tugas seorang pemimpin meliputi dua bidang utama yaitu:

1. Menyangkut pekerjaan yang harus diselesaikan.

2. Menyangkut kekompakan orang-orang yang harus dipimpinnya

Tugas yang berhubungan dengan pekerjaan harus diselesaikan agar masyarakat yang

dipimpin dapat mencapai tujuannya. Sedangkan tugas yang berhubungan dengan kekompakkan bawahan dibutuhkan agar hubungan antar orang yang bekerjasama menyelesaikan pekerjaan tersebut berjalan lancar dan penuh dinamika.

Tugas pemimpin menyangkut pekerjaan yang harus diselesaikan, meliputi :

1. Mengambil inisiatif.

2. Mengatur arah dan kegiatan- kegiatan.

3. Menciptakan arus informasi timbal balik yang bermanfaat untuk mengembangkan dinamika dalam mencapai tujuan.

4. Memberi dukungan, tuntunan dan motivasi kepada bawahannya.

5. Mampu menilai gagasan-gagasan selama proses pencapaian tujuan.

6. Menyimpulkan segala gagasan yng muncul, meringkas lalu menyimpulkannya sebagai landasan untuk mregembangkan pemikiran lebih lanjut.

Tugas pemimpin yang berhubungan dengan kekompakkan orang-orang yang dipimpin meliputi:

1. Bersikap hangat dan bersahabat, demi meningkatkan semangat bekerjasama.

2. Mengungkapkan perasaan dan ikut seperasaan dengan orang-orang yang dipimpinnya.

3. Mendamaikan dan merukunkan orang-orang (bawahan) yang bersitegang satu sama lain.

4. Mampu berkompromi dengan orang-orang yang dipimpinnya.

5. Memperlancar,bersedia mempermudah keikutsertaan mereka yang dipimpinnya.

6. Memasang aturan/ tata tertib yang membantu kehidupan berorganisasi.



II.2.2. Wewenang Seorang Pemimpin

Wewenang adalah hak untuk bertindak, menggerakkan orang-orang atau baeahannya untuk mau mengikuti dan melaksanakan tugas-tugas yang diperintahkan. Berikut dalah wewenang seorang pemimpin:

1. Menentukan segala perencanaan, persiapan, keputusan dan penerapan yang dilakukan demi tercapainya tujuan kegiatan.

2. Mengelonpokkan kegiatan-kegiatan yang telah dicantumkan dalam perencanaan.

3. Mengontrol jalannya kegiatan termasuk orang-orang yang dipimpinnya.





II.3. Peranan Nitisastra Terkait Ajaran Kepemimpinan

Nitisastra berasal dari bahasa Sansekerta, Niti yang berarti kemudi, pimpinan, politik dan sosial etik, pertimbangan dan kebijakan, serta Sastra yang berarti perintah, ajaran, nasihat, aturan, teori atau tulisan ilmiah. Nitisastra berarti ajaran tentang kepemimpinan. Pengertian nitisastra secara umum yaitu ilmu pengetahuan tentang suatu negara yang bertujuan mempelajari suatu negara baik dari segi politik tata negara, tata pemerintahan dan tata kemasyarakatan dengan meletakkan nilai-nilai moral agama Hindu yang universal sebagai landasannya.

Berikut adalah pedoman-pedoman kepemimpinan menurut konsep Hindu:



II.3.1. Sad Waraning Rajaniti (Sad Sasana)

Adalah enam syarat atau sifat utama dan kemampuan yang harus dimiliki seorang raja yaitu:

1. Abhicanika, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu menarik perhatian positif rakyatnya.

2. Prajna, artinya seorang pemimpin atau raja harus bijaksana.

3. Utsaha, artinya seorang pemimpin atau raja harus memiliki daya kreatif yang benar.

4. Atma Sampad, artinya seorang pemimpin harus bermoral yang luhur.

5. Sakya Samanta, artinya seorang pemimpin atau raja harus mengontrol bawahannya dan sekaligus memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang baik.

6. Aksudra Paritsaka, artinya seorang raja harus mampu memimpin sidang para mentrinya dan dapat menarik kesimpulan yang bijaksana sehingga diterima oleh pihak yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.



II.3.2. Catur Kotamaning Nrpati

Adalah empat sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Bagian-bagiannya adalah:

1. Jnana Wisesa Sudha, artinya memiliki pengetahuan yang luhur dan suci. Maksudnya seorang raja harus mengerti dan menghayati ajaran-ajaran agama.

2. Kaprahitaning Praja, artinya raja harus menunjukkan belas kasihan terhadap rakyatnya, yang maksudnya seorang raja harus betul-betul menolong rakyat yang menderita dngan perbuatan yang nyata.

3. Kawiryan, artinya raja harus berwatak pemberani. Maksudnya adalah untuk menegakkan pengetahuan yang suci, dan menolong rakyat yang menderita harus dilaksanakan dengan penuh keberanian.

4. Wibawa, artinya seorang raja harus berwibawa terhadap bawahan dan rakyatnya.



II.3.3. Tri Upaya Sandi

Adalah tiga upaya untuk menghubungkan diri dengan rakyat, yaitu :

1. Rupa artinya seorang raja harus mengamati wajah daripada rakyatnya, untuk mengetahui gambaran batin dari rakyatnya.

2. Wangsa artinya suku atau bangsa. Raja harus mengetahui susunan masyarakatnya(stratifikasi sosial), untuk menentukan sistem pendekatan yang harus dilakukan di masyarakat.

3. Guna artinya seorang raja harus mengetahui tingkat pengertian, pengetahuan dan keterampilan atau akal oleh masyarakat.



II. 3.4. Panca Upaya Sandi

Adalah lima upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam mengahadapi musuh Negara maupun dalam menyelesaikan persoalan yang menjadi tanggungjawab raja, yang terdiri dari :

1. Maya artinya seorang raja harus melakukan upaya dalam mengumpulkan data atau permasalahan yang belum jelas kedudukan dan profesinya.

2. Upeksa artinya upaya untuk meneliti dan menganalisa semua bahan berupa data dan informasi untuk dapat meletakkan setiap data dan masalah menurut proporsinya.

3. Indra Jala artinya suatu upaya untuk mencarikan jalan keluar dan memecahkan setiap permasalahan yang sedang dihadapi.

4. Wikrama artinya suatu upaya untuk melaksanakan upaya yang telah dirumuskan pada tingkatan Indra Jala.

5. Lokita artinya tindakan yang ditempuh harus selalu mendapat pertimbangan akal sehat dan logis atau masuk akal dan tidak boleh bertindak berdasarkan emosi.



II.3.5. Upaya Guna

Enam macam sifat bersahabat yang harus dikembangkan oleh seorang pemimpin sebagai dasar yang baik dan utama dalam kepemimpinannya, yaitu :

1. Sidhi yaitu kemampuan yang bersahabat.

2. Wigrha yaitu kemampuan untuk memisahkan setiap masalah serta mempertahankan hubungan baik.

3. Wibawa yaitu memiliki kewibawaan.

4. Winarya yaitu cakap dalam memimpin.

5. Gasraya yaitu kemampuan untuk menghadapi lawan atau musuh yang kuat.

6. Stanha yaitu dapat mempertahankan hubungan yang baik.



II.3.6. Asta Brata

Asta Brata adalah delapan landasan moral bagi seorang pemimpin. Bagian-bagian dari Asta Brata yaitu sebagai berikut:

1. Indra Brata: para pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Indra sebagai dewa hujan. Hujan adalaah sumber kemakmuran. Seorang pemimpin hendaknya seperti air yang berasal dari bawah teris menguap turun kembali menjadi hujan untuk menghidupkan isi ala mini. Artinya seorang pemimpin yang pada mulanya berasal dari manusia biasa, setelah naik menjadi pemimpin janganlah lupa kepada rakyat yang dipimpin.

2. Yama Brata: pemimpin hendaknya mengikuti sifat dewa Yama, yaitu menciptakan hukum,menegakkan hukum dan memberikan hukuman secara adil kepada setiap orang yang bersalah.

3. Surya Brata: pemimpin hendaknya memberikan penerangan secara adil dan rata kepada seluruh rakyat dan selalu berbuat hati-hati, serta berusaha meningkatkan semangat perjuangan hidup seluruh rakyatnya.

4. Chandra Brata: pemimpin hendaknya selalu bias memperlihatkan wajah tenang dan berseri-seri sehingga rakyat yakin akan kebesaran jiwa dari pimpinannya.

5. Bayu Brata: selalu mengetahui dan menyelidiki keadaan yang sebenarnya, terutama rakyat yang hidupnya paling menderita, bagaikan Dewa Bayu yang selalu berhembus dan mencapai segala tempat.

6. Danadha (Kuwera) Brata: pimpinan harus bijaksana dalam mempergunakan dana dan uang, jangan boros karena dapat merugikan Negara dan Rakyat.

7. Baruna Brata: pimpinan hendaknya dapat membersihkan segala bentuk penyakit masyarakat seperti pengangguran, kenakalan remaja, pencurian, pengacauan politik.

8. Agni Brata: pimpinan harus memiliki sifat ksatria yang disertai dengan semangat yang tinggi berkobar-kobar bagaikan api.



II. 4 Tipe-tipe Kepemimpinan

II.4.1. Tipe-tipe Kepemimpinan menurut DR. Kartini Kartono :

1. Tipe Kharismatis

Tipe ini memiliki kekuatan energi, daya tarik dan perbawa yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga mempunyai pengikut yang sangat besar jumlah dan pengawal yang bias dipercaya. Karena dianggap mempunyai kekuatan gaibdan kemampuan yang diperoleh sebagai karunia Tuhan. Serta memiliki inspirasi, keberanian dan keyakinan teguh akan pendirian diri sendiri. Tokoh besar dari tipe ini adalah Jengis Khan, Hitler, Gandhi, John F. Kennedy, Ir. Sukarno, Margarete Tatcher dan Gorbachev.

2. Tipe Paternalistis

Tipe ini adalah tipe kepemimpinan yang kebapakan, dengan sifat seperti :

a) Menganggap bawahannya manusia yang belum dewasa.

b) Bersikap terlalu melindungi

c) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan sendiri.

d) Hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada bawahnya untuk berinisiatif.

e) Hampir tidak pernah memberikan bawahannya mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas bawahannya.

f) Selalu bersikap maha tau dan maha benar.

3. Tipe Militeristis

Tipe ini memiliki sifat kemiliteran, namun ini lebih mirip kepemimpinan otoriter.

a. Lebih banyak menggunakan perintah komando terhadap bawahannya, keras, sangat otoriter, kaku dan kurang bijaksana.

b. Menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan

c. Menyenangi formalitas seperti upacara ritual dan tanda kebesaran yang berlebihan

d. Menuntut adanya disiplin keras dan kaku dari bawahannya

e. Tidak menghendaki saran, usul, sugesti dan kritik dari bawahannya

f. Komunikasi hanya berlangsung searah

4. Tipe Otokratis

Otokrat berasal dari kata autos artinya sendiri, dan kratos, artinya kekuasaan, kekuatan. Jadi otokrat berarti penguasa absolute. Tipe kepemimpinan ini mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi. Pimpinannya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal. Setiap perintah dan kebijakkan ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahannya. Pemimpin tipe ini selalu berdiri jauh dari anggota kelompoknya, jadi sifatny menyisihkan diri dan eksklusivisme,senantiasa ingin berkuasa absolute, tunggal dan merajai keadaan.

5. Tipe Laissez Faire

Pemimpin praktis tidak memimpin,dia membiarkan semua orang dan kelompoknya berbuat semau sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikitpun dalam kegiatan kelompoknya. Dia merupakan pemimpin symbol dan biasanya tidaak memiliki keterampilan teknis. Pemimpin yang bersangkutan tidak memiliki wibawa dan tidak bias mengontsol anak buahnya. Tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja dan menciptakan suasana kerja yang kooperatif.

6. Tipe Populistis

Prof. Peter Worsley dalam bukunya “ The Third World” mendefinisikan kepemimpinan populistis sebagai kepemimpinan yang dapat membangunkan solidaritas rakyat, berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisional,jugaa kurang mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan luar negeri.

7. Tipe Administratif/ Eksekutif

Adalah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrative secara efektif. Pemimpinnya sendiri mampu menggerakkan dinamika dan modernisasi dan pembangunan. Dengan kepemimpinan administratif diharapkan adanya perkembangan teknis yaitu teknologi, industry, mamagemen modern dan perkembangan social ditengah masyarakat.

8. Tipe Demokratis

Tipe demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Kepemimpinan demokratis biasanya berlangsung secara mantap dengan cirri-ciri sebagai berikut

a. Organisasi dengan segenap bagian-bagiannya berjalan lancer, sekalipun pemimpin tersebut tiadak ada di kantor.

b. Otoritas sepenuhnya didelegasikan kebawah dan masing-masing orang menyadari tugas serta kewajibannya.

c. Tujuan-tujuan kesejahteraan, dan kelancaran kerjasama dari setiap kelompok diutamakan.

d. Pemimpin demokratis berfungsi sebagai katalisator untuk mempercepat dinamisator dan kerjasama, demi pencapaian tujuan organisasi dengan cara yang paling cocok dengan jiwa kelompok dan siyuasinya.



II.4.2.Tipe-Tipe Kepemimpinan Menurut Drs. Soekarno K.

1. Kepemimpinan Pribadi

Tipe dimana pemimpin secara langsung mengadakan kontak dengan bawahannya. Tidak ada jenjang-jenjang hierarki, pemimpin ingin mengetahui segala hal sampai yang sekecil-kecilnya.Aktifitas pemimpin ini dapat menimbulkan kepemimpinan sentralistis.

2. Kepemimpinan Non-Pribadi

Dalam hal ini pemimpin tidak secara langsung mengadakan kontak dengan bawahannya melainkan melalui saluran jenjang-jenjang hierarki (subordinasi).

3. Kepemimpinan Autoriter

Tipe kepemimpinan dimana pemimpin menganggap bahwa kepemimpinan merupakan hak pribadinya, tiudak ada orang yang boleh ikut campur.

4. Kepemimpinan Demokratis

Tipe kepemimpinan dimana pemimpinnya selalu membuka pintu dan menghargai saran-saran, pendapat, nasihat-nasihat dari para koleganya melelui forum musyawarah untuk mufakat guna mencapai kata sepakat.

5. Kepemimpinan Paternalistis

Tipe kepemimpinan dimana pemimpin bertindak sebagai ayah, pengasuh, pembimbing dari para koleganya.





II.5. Kepemimpinan Yang Ideal Menurut Nitisastra

sebagai suatu ajaran tentang konsep kepemimpinan menurut Hindu, didalam Nitisastra juga terdapat pandangan-pandangan Hindu mengenai konsep pemimpin yang ideal. Berikut adalah pandangan Hindu tentang konsep pemimpin yang Ideal:



II.5.1. Nawa Natya

Adalah 9 sifat dan sikap teguh serta bersusila yang harus dimiliki oleh para pemimpin dan para pembantunya, guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa dan Negara yang dipimpinnya, yang terdiri dari :

a. Pradnya Nidagda yaitu bijaksana dan mahir dalam berbagai ilmu sehingga dengan demikian akan menjadi orang yang bijaksana serta teguh dalam pendiriannya.

b. Wira Sarwa Yudha yaitu pemberani, pantang menyerah dalam segala peperangan maupun tantangan

c. Pramartha yaitu memiliki sifat yang mulia dan luhur

d. Dhirotsaha yaitu tekun dan ulet dalam mensukseskan setiap pekerjaan

e. Pragivakya yaitu pandai berbicara di depan umum maupun berdiplomasi

f. Sama Upaya yaitu selalu setia pada janji yang pernah diucapkan

g. Laghawangartha yaitu tidak bersifat pamrih atau loba terhadap harta benda

h. Wruh Ring Sarwa Bastra yaitu pintar dan bijaksana dalam mengatasi segala kerusuhan yang terjadi

i. Wiweka yaitu dapat membeda-bedakan mana yang benar dan yang baik

Merupakan sesuatu yang sulit untuk menjadi pemimpin yang ideal, mengingat secara alami seorang pribadi manusia dilahirkan dengan kekurang sempurnaan. Hanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang maha sempurna. Namun, demikian adalah menjadi kewajiban manusia untuk menyempurnakan pribadinya atas tuntutan Sang Pencipta.

makalah agama 6

BAB II. Pembahasan

2.1 Politik dalam Perspektif Hindu
Gerakan penolakan terhadap politisi buruk terus enggelinding. Tetapi banyak yang pesimis terhadap gerakan ini. Sebab, jujur harus diakui, kesadaran seperti itu hanya lahir di kalangan intelektual. Sedangkan di tengah-tengah masyarakat berkembang pragmatisme politik yang sangat mengkhawatirkan. Terdapat kecenderungan yang mengemuka bahwa partai apapun yang bisa memberikan bantuan dana akan didukung masyarakat. Sebab masyarakat khususnya masyarakat Bali yang beragama Hindu, menanggung beban pembangunan yang demikian besar, dari pembangunan balai banjar sampai pembangunan atau perbaikan pura yang menghabiskan dana tidak sedikit.
Politik dalam sejarah masyarakat Bali memang belum pernah memberikan kenyamanan kepada masyarakat. Era perpolitikan pada tahun 1950an menghasilkan ketegangan di tengah-tengah masyarakat Bali, terutama ketika terjadi gerakan logis yang dilakukan sekelompok pejuang yang tidak pusas dengan kebijakan pemerintah republik Indonesia. Perhelatan politik pasca pemilu 1955, juga menimbulkan ketegangan yang sama. Ketegangan ini memuncak pada tahun 1965. Pada saat itu terjadi pembunuhan besar-besaran di Bali. Pada masa orba perpolitikan seperti itu dikritik kemudian rezim yang berkuasa menawarkan wacana pembangunan sebagai antithesis dari era perpolitikan seperti itu pada masyarakat Bali. Pada saat inilah keamanan dan kenyamanan mendapatkan tempat di Bali. Pariwisata berkembang. Orang-orang kaya baru kemudian lahir di Bali. Akan tetapi keadaan ini menimbulkan berbagai ketidak adilan sosial. Sehingga muncul gerakan politik pada tahun 1999. Gerakan politik ini sejalan dengan gerakan reformasi yang menggejala secara nasional. Gerakan ini mendapat puncaknya ketika simbol-simbol ketertindasan yang diwakili PDI P memenangkan pemilu 1999 dengan sangat meyakinkan di Bali.
Namun, gerakan ini ternyata dirasakan belum bermanfaat kepada masyarakat Bali. Sebab perekonomian masyarakat mulai merosot akibat berbagai tragedi di dunia pariwisata, seperti bom dan hal-hal lainnya. Pada kondisi seperti itu masyarakat kemudian melihat peningkatan taraf hidup kalangan politisi. Sehingga kefrustasian sosial terhadap gerakan politik kemudian semakin meluas. Mereka beranggapan jika gerakan seperti itu hanya akan menguntungkan sekelompok orang. Pada kondisi seperti inilah, lahir sebuah pragmatism politik bahwa siapapun yang bisa memberikan uang akan didukungnya. Sebab mereka tak yakin pasca pemilu akan mendapatkan bantuan seperti itu. Tetapi politik sebenarnya sebuah kenyataan dalam kehidupan bernegara. Proses pergantian kekuasaan pemerintahan Negara harus terus terjadi. Proses ini bagaimanapun juga akan menampung dinamika masyarakat Bali. Jad perkembangan kesadaran masyarakat akan tercermin dari pilihan-pilihan politiknya.
Bagaimanapun juga sebuah masyarakat tentulah mengharapkan perbaikan yang terus menerus. Setiap hari baru haruslah melahirkan perbaikan. Sehingga proses pengulangan yang dalam kepercayaan masyarakat Bali disebut punarbhawa (kelahiran berulang-ulang) menuju kepada perbaikan, yaitu tercapainya suatu keadaan yang dilukiskan sebagai satyam (kebenaran), siwam (kesucian) dan sundaram (keharmonisan atau keindahan). Keadaan inilah yang dilukiskan oleh bhagawad gita sebagai brahma stithi (keadaan Brahman/Tuhan). Keadaan inilah yang hendak diwujudkan oleh masyarakat Bali di dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang (alam setelah kematian). Keadaan seperti ini tentulah tidak bisa diwujudkan dengan pragmatisme politik yang seperti itu. Apalagi pragmatism politik tersebut jelas-jelas mengarah kepada kepentingan-kepentingan material. Bhagawad gita menyebutkan, ketertarikan kepada kepentingan-kepentingan material seperti ini akan menjerumuskan masyarakat kepada kehancuran sang diri. Karena itulah bhagawad gita kemudian menawarkan jalan hidup dengan mengontrol objek-objek indria. Sehingga seseorang akan bisa melakukan meditasi untuk mencapai ketenangan atau kedamaian. Dengan ketenangan atau kedamaian seseorang akan mencapai kebahagiaan.
Prinsip seperti inilah yang dianggap sebagai jalan hidup yang benar untuk mencapai kebahagiaan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengimplementasikan ide tersebut dalam realitas sosial yang berkembang atau dalam pragmatisme politik yang terjadi. Pertanyaan ini kemudian akan semakin lengkap jika masyarakat bisa menjawab sebuah pertanyaan, apakah Negara memang masih diperlukan? Untuk mengantarkan masyarakat mencapai kebahagiaan sampai saat ini pola pikir masyarakat belum lepas dari keyakinannya terhadap sebuah institusi yang bernama Negara.
Jadi tidak ada pilihan lain bagi masyarakat Bali, kecuali mengimplementasikan prinsip hidupnya dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu masyarakat Bali perlu membangun kembali kesadarannya dalam bernegara, yaitu tercapainya tujuan-tujuan bernegara yang secara gambling dilukiskan dengan kata jagadhita (kebahagiaan dunia). Kebahagiaan dalam keyakinan masyarakat Bali tidak sama dengan terakumulasinya kekayaan. Kebahagiaan adalah sebuah kondisi bathin dimana seseorang tidak merasakan ketertekanan, penderitaan dan sejenisnya. Dalam konteks ini, agama Hindu menawarkan pola hidup sederhana. Sebab hanya dengan pola seperti ini sebuah masyarakat akan selallu ingat dengan tujuannya yang tertinggi yaitu kebahagiaan. Jika mereka memenuhi indria – indrianya maka mereka akan terjebak pada maya atau keadaan seolah – olah yang semakin menjerumuskan masyarakat.
Dalam konteks pemikiran seperti ini, pragmatism politik tergolong sebagai pemikiran yang di pengaruhi maya atau keadaan yang seolah – olah. Bantuan keuangan seakan – akan telah memberikan kontribusi bagi masyarakat. Padahal kenyataannya itu bisa sebaliknya. Sebab tuntutan seperti ini, bukan tidak mungkin akan menyeburkan budaya korupsi di kalangan penyelenggara pemerintahan. Sebab mereka memerlukan modal yang besar untuk duduk pemerintahan. Korupsi seperti ini tentu akan mengurangi jatah bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat. Pada kondisi seperti ini pragmatism politik seperti itu tidak akan membawa kebahagiaan, tetapi malah sebaliknya. Jadi berkenaan dengan hal ini masyarakat Bali perlu melakukan gerakan hidup sederhana dengan meminimalisasi keindahan-keindahan material pada berbagai aspek kehidupan. Bahkan masyarakat Bali perlu juga memformat sebuah kesedrhanaan dalam pembangunan tempat-tempat suci. Sehingga ini tidak menjadi alasan untuk melakukan pragmatism politik yang jelas akan menjerumuskan masyarakat. Agam Hindu terbangun untuk menyelamatkan masyarakat dari penderitaan, bukan sebaliknya untuk menjerumuskan masyarakat ke dalam lembah penderitaan. Karena itulah tidak ada alasan agama apapun yang busa membenarkan sebuah pragmatisme politik seperti itu. Agama Hindu justru menyemangati masyarakat Bali untuk membela kebenaran atau nindihin kepatutan. Jadi proses politik yang terjadi semestinyalah digerakkan dalam semangat seperti itu. Sehingga mereka yang kemudian duduk dipemerintahan Negara benar-benar orang yang tepat. Sebab mereka mengemban tugas untuk melenyapkan noda-noda masyarakat(ksyanikang papa nahan prayojana –menyitir kakawin Ramayana ).
Dalam bahasa ritual masyarakat bali, proses politik ini haruslah bias menjadi proses penyucian atau sudamala bagi masyarakat bali. Sebab dalam pandangan agama hindu, yuddha (peperangan) juga dipandang sebagai proses penyucian. Jadi, segala aktivitas didunia ini bias dipandang dalam khasanah penyucian tersebut termasuk proses kerja. Karena itulah proses politik yang terjadi mestilah dipandang sebagai proses penyucian, sehingga akhir dari proses ini tidak mendudukan orang-orang yang ternoda dalam pemerintahan. Sebab bagaimana mungkin mereka yang tidak bias melenyapkan noda dalam dirinya, bisa melenyapkan noda masyarakat?

2.2 Pencetusan Penerapan Politik dalam Persepektif Hindu
Seperti kita sakaikan diberbagai media baik cetak maupun elektronik,banyak pakar dan elit politik menyampaikan bahwa tahun 2009 akan diriuhkan dengan berbagai agenda politik dalam ajang pemilihan umum(pemilu) legislative (DPR, DPRD, DPD) yang disusul dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Tak heran lantas banyak kalangan menyebut tahun 2009 ini sebagai tahun politik. Tahun dimana akan terjadi integrasi antara berbagai kepentingan baik kelompok maupun kepentingan bangsa dan Negara. Kita pun selalu disajikan dengan berbagai adegan politik melalui berbagai keputusan yang fenomenal ditengah mepetnya waktu penyelenggaraan pemilu yang tinggal beberapa bulan lagi. Misalnya saja keputusan Mahkamah Konstitusi(MK) yang mengabulkan uji materi pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu. Hasilnya penetapan anggota legislatif untuk pemilu 2009 akan ditentukan dengan system suara terbanyak.
Keputusan ini tentu dapat mendorong proses demokrasi yang substansi ditengah banyaknya keraguan kepada partai politik. Sang calon legislatif (caleg) pun didorong bekerja lebih giat untuk memperoleh suara dipemilu.
Sebuah proses demokrasi yang mulai terbuka ditengah pendidikan politik yang belum begitu baik, artinya para elit partai dapat menerima dengan lapang dada dan melaksanakan keputusan ini dengan bijak, politik ditanah air ini dapat dicapai dengan baik pula. Tak dipungkiri proses demokrasi ini membawa dampak yang lumayan banyak bagi proses kehidupan bernegara umat Hindu. Proses ini tentu sebuah kewajiban dharma Negara umat dalam mengawal proses kenegaraan yang diyakini tak lepas dari tuntutan politik. Untuk itu infrastruktur dan penguasaan beberapa elemen strategis sangat penting. Salah satunya adalah legislative baik kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Untuk itu semakin banyak untuk hindu menduduki posisi-posisi legislatif tersebut, tentu akan senmakin baik pula kepentingan umat Hindu teraspirasikan dipemerintah.
Masalahnya kemudian adalah pada proses pencapaian posisi legislatif yaitu untuk menduduki kursi dewan perwakilan rakyat(DPR). Politisi Hindu yang mencalonkan diri dibeberapa daerah dari berbagai partai politik tentu tidak lepas dari harapan kepada umat Hindu itu sendiri sebagai pemilihnya. Disinilah pendidikan politik dan kedewasaan politik umat Hindu diperlukan. Artinya juga harus ada koordinasi dan paradigma yang baik sehingga tidak terjadi eksploitasi kepentingan baik bagi sang calon maupun umat sebagai pemilih.
Dalam UU No 2 tahun 2008 tentang partai politik dijelaskan bahwa pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nah, dari definisi itu dapat kita tangkap bahwa harus ada sebuah pemahaman antara pemilih dan yang akan dipilih(caleg) dalam suatu visi yang sama. Dari kesemuanya itu adakah sebuah proses pendidikan yang sudah dilakukan sang calon atau hanya sebuah retorika pencitraan yang melupakan proses pendidikan politik. Beberapa hal yang perlu dicermati adalah track record dari sang calon yang tentu akan terkait dengan latar belakangnya. Tak sedikit juga para calon yang selalu mengumbar janji dalam komunikasi politik yang dilakukan. Ada keselarasan antara pendidikan politik yang belum baik ditutupi dengan keemasan kampanye super baik sehingga tertanam produk politik yang baik.
Dengan ramainya hiruk pikuk pasar politik saat ini, sungguh sangat sulit membedakan antara kampanye politik dengan kampanye pemilu. Menurut Firmansyah dalam bukunya Marketing Politik antara pemahaman dan rtealitas menjelaskan harus ada redifinisi kampanye. Kedua hal ini memiliki persepektif yang berbeda. Misalnya dari tujuannya, kampanye pemilu cenderung menggiring pemilih ke bilik suara sedangkan kampanye politik lebih menitik beratkan pada image politik. Begitu juga dari strategi yang dilakukan, kampanye pemilu untuk melakukan mobilisasi dan berburu pendukung (push marketing),sedangkan kampanye politik untuk membangun dan membentuk reputasi politik (pull marketing). Nah tentu kampanye politik memerlukan waktu yang cukup panjang sedangkan kampanye pemilu cenderunmg jangka pendek, sesuai kebutuhan. Dari sinilah dapat dibaca track record sang calon legislative maupun partai politik mengingat setiap aktivitas partai politikselalu menjadi perhatian masyarakat. Masyarakat tentu dapat dengan cermat memperhatikannya agar suara tidak sia-sia begitu saja. Sebuah ikatan relasional akan terbangun bila sang calon menyadari arti pentingnya politik dan konstituen yang ia wakili. Memberikan konstribusi bagi pembangunan umat Hindu melalui pola keterwakilan dalam pemerintah.
Kondisi ideal in sangat sulit dicapai karena berbagai hal, salah satunya adalah masih lemahnya infrastruktur umat Hindu. Salah satu indikatornya adalah dapat dilihat dari organisasi massa berbasis Hindu. Prajaniti Indonesia yang memang didedikasikan untuk mengakomodir kepentingan dan perjuangan politik umat hindu tidak dapat berjalan dengan baik. Sementara organisasi lainnya memiliki fokus dan lading garapan yang berbeda seperti peradah Indonesia lebih fokus pada pembinaan para pemuda, KMHDI lebih fokus pada kaderisasi para kader mahasiswa. Begitu pun WHDI yang menaungi kegiatan wanita hindu Indonesia. Alhasil parisada sebagai majelis tertinggi terkadang tak luput harus mengakomodir dan melakukan regulator berbagai kepentingan politik umat. Dalam arti parisada pun harus menampung berbagai keluhan politik umat, belum lagi masalah pembinaan umat. Akhirnya majelis kita memikul beban masalah yang begitu berat. Selanjutnya patut juga dipertanyakan kemana prajaniti Indonesia yang seharusnya dapat lebih maksimal berperan sebagai regulator perjuangan dan kepentingan politik umat hindu.

2.3 Respon Masyarakat Bali terhadap Politik dalam Persepektif Hindu
Ketuia parisada Bali Made Artha, BAE menyebutkan untuk membentuk partai yang berplat form Hindu itu harus dipikir untung ruginya. Menurutnya secara normatif seperti yang dikatakan Ketua Parisada Pusat Nyoman Suwandha. PHDI tidak melarang umatnya untuk membentuk partai politik berplat form hindu. Ia melihat hal itui sebagai hak asasi. Itu merupakan hak asasi “Kata Artha” singkat. Artinya disitu ada kebebasan tapi ada aturan yang melarang dan membolehkan pengurus PHDI menduduki posisi terterntu di instansi atau lembaga tertentu. Anggota sabha walaka PHDI pusat Wayan Sudhirta,S.H berpandangan senada. Pernyataan Pak Suwandha itu sifanya normative. Menurutnya masyarakat Hindu akan lebih baik berada dimana-mana. Artinya tiap orang bebas menyalurkan aspirasinya pada partai politik manapun. Kondisi antara huklum dan perundangan yang ada tidak memungkinkan bagi tumbuh berkembangnya partai berplat form Hindu. Ia justru melihat akan terjadi kontraproduktif bila terbentuk partai politik berplat form Hindu.
Jangankan partai Hindu, pengurus Parisadha yang condong kesalah satu partai saja sudah menyebabka terjadinya degradasi umat, tutur Sudirta sembari member beberapa contoh politikus Hindu di zaman orde baru. Apalagi kemudian partai-partai itu tidak bisa melakukan control diri. Saat ini saja atribut pura dibawa ke pengadilan dalam urusan perkara, apalagi saat kampanye, apa tidak atribut Hindu dipakai untuk kampanye, ujarnya. Kemudian di satu desa adat terdapat kelompok yang berbeda-beda, sehingga ketika atribut pura dipakai urusan politik misalnya, yang lain bisa melakukan tindakan anarkis. Itu akan menyebabkan umat terkapling-kapling. Di satu sisi banyak pihak mengakui terjadi krisis figure di kalangan umat Hindu. Oleh karena itu sudirtha tak yakin kalau ada figure yangt muncul mendirikan partai bernafaskan Hindu akan mendapat dukungan signifikan dari orang hindu sendiri. Sudirta melihat ada kecenderungan oknum-oknum politikus hindu saat ini masih menggunakan Parisada (PHDI) sebagai kendaraan untuk berjuang seperti di zaman orba. Ini harus diwaspadai. Banyak politikus Hindu di zaman orba yang menggunakan PHDI sebagai kendaraan,sekarang jadi pengangguran dan terlambat untuk melakukan langkah rerformis. Politikus-politikus orba ini seharusnya sadar diri.
Vlee presiden ASEAN Hindu Youth Council Drs. Dewa Gede Windhu Sancaya,M.Hum. mengatakan hindu memang memiliki pandangan-pandangan politik. Bahkan Hindu sendiri sangat kaya dengan ilmu politik. Pandangan politik Hindu bisa diekspresikan dalam berbagai bentuktermasuk mungkin dalam parpol berflatform Hindu. Tetapi pandangan itu tidak hanya bisa diperjuangkan dalam bentuk partai yang jelas-jelas bernama Hindu. Dikatakan pembentukan parpol Hindu memiliki keuntungan dan banyak kerugiaan. Keuntungannya, siapa pun yang beridentitas hindu seolah-olah dapat dirangkul dalam partai tersebut. Tetapi kenyataannya apa memang demikian? Belum tentu! Oleh karena itu pembentukan parpol Hindu perlu dikaji secara lebih mendalam. Dosen Fakultas Sastra UNUD ini mengatakan selama ini partai-partai yang bernafaskan keagamaan tidak selamanya menimbulkan rasa tenteram dan rasa aman, tetapi juga menimbulkan masalah atau konflik-konflik baru. Dengan demikian jika kita bentuk parpol hindu praktis akan berhadapan juga dengan kekuatan dari parpol-parpol agama lain,katanya. Sementara persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini adalah masalah nasionalisme di satu sisi dan masalah kelompok di sisi lain. Kelompok itu cenderung menghimpun dirinya bebasis nilai tertentu,hanya mengatasnamakan kepentingan nasional.
Kepentingan nasional sesungguhnya tidak pernah menjadi flatform dari parpol-parpol itu. Agama dipinjam untuk parpol, sebetulnya hanya untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan. Bukan untuk mencapai tujuan sesungguhnya dari agama itu sendiri. Agama secara murni mengajarkan hal-hal yang baik. Tetapi karena perilaku manusia agama akhirnya sering dijadikan alat untuk tujuan-tujuan kekuasaan.
Itu artinya tidak perlu membuat parpol Hindu? Inilah yang perlu kita kaji secara mendalam. Kita memang perlu mencoba membuat sesuatu tapi sebelum dicoba perlu ada pengkajian-pengkajianlebih lanjut apa keuntungan dan kerugiannya tegas windhu sembari menyebut Hindu sendiri memang kaya akan konsep politik, misalnya dalam Mahabratha dan Nitisastra. Ditambahkan selama ini dengan berjuang dalam partai yang ada sebetulnya kepentingan Hindu belum bisa maksimal. Apalagi Hindu secara eksklusif membentuk parpol maka yang lain merasa tidak perlu lagi ikut memperjuangkan Hindu.

makalah agama 3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep kerukunan dan perdamaian menurut ajaran Hindu
Umat Hindu menurut pengertian Veda pada hakikatnya merupakan bagian dari manusia lainnya, tak terpisahkan dari seluruh ciptaan Tuhan ( Sang Hyang Widi Wasa ), penguasa dan penakdir segala ciptaan-Nya di alam semesta ini. Manusia Hindu tidak dapat memisahkan dirinya untuk sebuah perbedaan, karena ia berasal dari yang satu, serta pada akhirnya akan kembali kepada yang satu jua. Dalam kitab suci Veda masalah kerukunan dijelaskan dalam ajaran: tat twan asi, karmaphala dan ahimsa.
2.1.1 Tat Twam Asi
Demikianlah di dalam pustaka suci Veda dinyatakan sebuah kalimat: ” TAT TVAM ASI ” yang bermakna: ” Itu adalah Engkau, Dia adalah Kamu, Aku adalah Dia, Engkau adalah Aku, dan seterusnya… ” bahwa setiap manusia adalah saudara dari manusia lainnya dan teman dari insan ciptaan-Nya. Sesanti ‘ Tat Tvam Asi ‘ ini menjadi landasan etik dan moral bagi umat Hindu di dalam menjalani hidupnya sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya di dunia ini dengan harmonis. Tat tvam asi mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lainnya. Bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa bedanya dengan orang lain. Maka dari itu janganlah sekali-kali menyakiti hati orang lain. Dan sebaliknya bantulah orang lain sedapat mungkin kamu membantunya, karena sebenarnya semua tindakkan kita juga untuk diri kita sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengan baik, maka akan terwujud suatu kerukunan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma Atma Aikhyam”, yang artinya Brahman (Tuhan) dan Atman sama. Dalalm upaya membina terwujudnya kerukunan hidup beragama yang berlandaskan prinsip ajaran Tat Tvam Asi. Oleh karena itu tiada alasan untuk menjelek-jelekkan atau menyakiti orang lain. Maka dari itu berbuat baiklah kepada orang lain atau agama lain bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya di muka bumi ini, tanpa terkecuali. Ajaran Tat Tvam Asi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang di rasakan orang lain. Tat Tvam Asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalinnya hubungan yang serasi atas dasar “Asah, asih, asuh” diantara sesama hidup. Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada Brahmana Budiman yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup lainnya, orang yang hina papa sekalipun walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang terhadap dirimu, perbuatan seperti orang sadhu hendaknya sebagai balasanmu. Janganlah sekali-kali membalas dengan perbuatan jahat sebab orang yang berhasrat berbuat kejahatan itu pada hakikatnya akan
Berpedoman pada filsafat ” Tat Tvam Asi ” maka umat Hindu sebagai bagian dari warga Bangsa Indonesia wajib mengamalkan ajaran agamanya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Umat Hindu harus mengabdi bagi kepentingan bangsa dan negara, serta demi keluhuran harkat dan martabat umat manusia di dunia ini. Apa saja yang menjadi masalah bangsa kita adalah masalah yang harus dihadapi bersama oleh umat Hindu, dengan bekerja sama bahu membahu dalam suasana kerukunan sejati dengan sesama umat beragama dan sesama warga negara Indonesia lainnya. Umat Hindu tidak boleh melepaskan keterkaitan dirinya, baik secara pribadi maupun kelompok sebagai warga negara Kesatuan Republik Indonesia, karena agama Hindu mengajarkan kewajiban moral pengabdian terhadap Negara yang disebut ” Dharma Negara ” dan kewajiban moral mengamalkan ajaran agamanya disebut ” Dharma Agama “.
Sebagai warga negara, umat Hindu harus tunduk dan patuh kepada konstitusi serta berupaya membudayakan nilai-nilai Pancasila pandangan hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari secara nyata. Oleh karena itu dalam rangka sosialisasi dan inkulturasi nilai-nilai luhur agama dalam proses pembangunan nasional maka umat Hindu harus mengamalkan ajaran agamanya secara benar dengan mengupayakan revitalisasi terhadap mantra-mantra/ayat-ayat suci Veda sehingga mampu memberikan kontribusinya terhadap kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional menuju masyarakat madani. Dengan demikian maka umat Hindu akan dapat berjalan seiring, selaras, serasi dan seimbang dengan umat lain karena memiliki dasar pandangan yang sama di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam pada itu maka suasana kebersamaan dan kerukunan umat beragama, maupun sinergi suku, ras, antar golongan yang penuh perdamaian dan didorong oleh rasa kesadaran nasional niscaya akan terwujud dengan harmonis. Kesadaran nasional sebagai esensi bangsa, yang memiliki kehendak untuk bersatu harus mempunyai sikap mental, jiwa dan semangat kebangsaan ( nasionalisme ) sebagaimana disitir oleh Hans Kohn ” sebagai tekad suatu masyarakat untuk secara sadar membangun masa depan bersama, terlepas dari perbedaan ras, suku ataupun agama warganya “.
Svami Chinmayananda dalam bukunya ” The Art of Living ” menyatakan bahwa sekelompok manusia yang tinggal di suatu bagian geografis tertentu tidak dapat disebut bangsa, tetapi hanya merupakan sekelompok manusia. Apabila kelompok semacam itu hidup bersama dalam kerukunan dan berupaya untuk mencapai suatu tujuan yang sama, barulah ia dapat disebut ” bangsa “. Kualitas suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas individu warga negaranya yang memiliki rasa persaudaraan, kasih sayang dan pengertian yang integratif. Selanjutnya dikatakan bahwa suatu Negara Kesatuan, dimana setiap warga negaranya berupaya untuk mengabdi dan melayani tanpa motif pribadi maka akan menjadi bangsa yang besar, kuat dan berprestasi.
Bagi kita bangsa Indonesia cita-cita masa depan yang akan dibangun adalah suatu masyarakat madani yang adil dan makmur materiil dan spiritual dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam suasana peri kehidupan yang aman, tentram, tertib dan dinamis, serta dalam suasana pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. Hal ini sejalan dengan tujuan agama Hindu yaitu ” Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharmah “.
Sehubungan dengan itu, maka filsafat ” Tat Tvam Asi, Dharma Agama, Dharma Negara ” yang mewujud ke dalam pengamalan ajaran Tri Hita Karana adalah merupakan konsep pemikiran Hindu yang menjadi dasar etik dan moral dalam menjalankan kewajiban hidup baik sebagai manusia pribadi, sebagai warga negara maupun sebagai umat beragama yang ” dharmika ” yaitu umat yang sadar akan hak dan kewajibannya.
Konsep pemikiran Hindu dalam rangka mendukung terwujudnya kerukunan dan perdamaian dalam kehidupan bernegara kesatuan harus dilandasi etik dan moral ajaran Veda yang diaktualisasikan dalam sikap sebagai berikut :
Menyadari dirinya sebagai sahabat dari sesama umat manusia, baik intern umat Hindu, antar SARA, maupun dengan pemerintah. Mereka juga sebagai teman dari semua ciptaan Tuhan, karena berasal dari pencipta yang sama serta diisi dan digerakkan oleh sumber hidup yang sama.
Senantiasa berupaya melaksanakan Dharma Agama melalui pengamalan ajaran agamanya secara benar dan utuh tanpa kepentingan yang bersifat eksklusif.
a. Setiap umat Hindu hendaknya menghayati dan meyakini kebenaran ajaran Sradha dan mengamalkannya secara nyata dalam kehidupan sehari – hari.
b. Agar tidak terjadi benturan ( disharmoni ) didalam pelaksanaannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun ditengah kehidupan masyarakat yang heterogen ( bhineka ) ini, maka ajaran ” Dharma Siddhyarta ” sebagai landasan pertimbangan dalam menuangkan konsep/gagasan yang akan diputuskan hendaknya benar – benar dipedomani. Dharma Siddhyarta tersebut terdiri atas lima aspek yang dijadikan dasar pertimbangan, yaitu :
1) Iksa : hakikat tujuan dari suatu kegiatan yang akan dilaksanakan.
2) Sakti : kesadaran kemampuan fikir dan fisik materiil untuk mendukung suatu kegiatan.
3) Desa : tempat kegiatan atau lingkungan kondusif yang dapat memperlancar suatu kegiatan.
4) Kala : waktu atau masa di dalam melaksanakan suatu kegiatan.
5) Tattva : dasar keyakinan atau falsafah yang bersumber dari nilai suci Veda.
c. Sebagai warga bangsa yang Sradha dan Bhakti, umat Hindu hendaknya percaya bahwa setiap agama mengandung nilai suci dan jalan menuju Kebenaran Tuhan.
2.1.2 Karmaphala
Karma phala merupakan suatu hukum sebab akibat atau kausalitas atau aksi reaksi umat Hindu.mengingat meyakini akan kebenaran hukum ini apapun yang dilakukan tentunya dengan tidak sengaja akan menimbulkan dampak. Setiap dampak akan membawa akibat. Segala sebab yang dilakukan akan membawa akibat hasil perbuatan. Segala karma atau perbuatan akan mengakibatkan karmaphala ( hasil/phala perbuatan). Hukum rantai sebab akibat perbuatan (karma) dan Phala perbuatan (Karma Phala) ini disebut hukum karma. Jadi setiap akibat yang timbul tentu ada penyebabnya tidak mungkin ada akibat tanpa sebab. Demikian juga sebaliknya setiap perbuatan yang dilakukan sudah pasti akan menerima akibat, baik atau buruk. Cepat maupun lambat mau tidak mau hasil akan selalu mengikutinya. Ini merupakan dalil yang logis yaitu setiap sebab pasti menimbulkan akibat dan setiap akibat yang ada pasti ada penyebabnya. Antara sebab dan akibat tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya diibaratkan diri kita dengan bayangannya. Bayangan akan selalu mengikuti kemanapun kita akan pergi. Karma phala adalah merupakan sradha atau keimanan ketiga panca sradha. Karma berarti perbuatan dan phala berarti hasil atau buah. Perbuatan yang baik yang dilakukan akan mendatangkan hasil yang baik demikian juga perbuatan yang buruk pasti akan mendatangkan hasil yang buruk pula. Batu dengan batu atau kayu dengan kayu bila digosok-gosok menimbulkan akibat yaitu panas. Hukum ini berlaku pada semua makhluk hidup lebih-lebih pada kehidupan manusia sebagai makhluk utama tidak perlu disangsikan lagi dampak yang akan ditimbulkannya Cuma waktu untuk menerima hasil perbuatan berbeda-beda ada yang cepat dan ada pula yang lambat dan bahkan bisa pula diterima dalam penjelmaan berikutnya. Oleh karena itu berlandaskan pada keyakinan tersebut dalam memupuk kerukunan hidup beragama senantiasa berbuat baik berlandaskan dharma. Yang dipuji adalah karma. Sesungguhnya yang menjadikan orang itu berkeadaan baik adalah perbuatannya yang baik dan sebaliknya yang menjadikan orang itu berkeadaan buruk adalah perbuatannya yang buruk. Seseorang akan menjadi baik hanya dengan berbuat kebaikan seseorang menjadi dosa karena perbuatan jahatnya. Subha asubha prawerti yaitu baik buruk atau amal dosa dari suatu perbuatan yang merupakan dasar daripada karmaphala dharma yang juga disebut subha karma akan membuahkan kebahagiaan hidup lahir bathin dan karma yang jahat hina dan adharma yang juga dinamakan asubha karma akan mendapatkan pahala berupa penderitaan dan kesengsaraan lahir bathin.

1.1.3 Ahimsa
Ahimsa merupakan landasan penerapan kerukunan hidup beragama. Ahimsa berarti tanpa kekerasan. Secara etimologi ahimsa berarti tidak membunuh, tidak menyakiti makhluk hidup lainnya. “Ahimsa parama dharmah” adalah sebuah kalimat sederhana namun mengandung makna mendalam. Tidak menyakiti adalah kebajikan yang utama atau dharma tertinggi. Hendaknya setiap perjuangan membela kebenaran tidak dengan perusakan-perusakan karena sifat merusak, menjarah, memaksakan, mengancam, meneror, membakar dan lain sebagainya sangat bertentangan dengan ahimsa karma termasuk menyakiti umat lain dengan niat yang tidak baik atau dengan berkata-kata kasar pedas dan mengumpat. Ahimsa adalah perjuangan tanpa kekerasan termasuk tanpa menentang hukum alam. Jika melanggar hukum alam akan mengundang reaksi keras. Mereka harus belajar memelihara dan melindungi lingkungan sendiri agar tercipta kehidupan yang harmonis dan selaras dengan lingkungannya sendiri. Jadi ahimsa mengandung pengertian tidak melakukan kekerasan tidak membunuh makhluk hidup apapun. Ahimsa juga dimaksudkan tidak melakukan kekerasan agar tidak menyakiti hati orang lain. Bertentangan dengan ahimsa karma perbuatan membunuh adalah adharma bertentangan dengan agama. Bersahabat adalah merupakan suatu kebutuhan sosiologis bagi manusia. Tidak ada manusia normal yang tidak membutuhkan persahabatan. Cirri-ciri kemanusiaan seseoarang baru akan Nampak apabila dia berada ditengah-tengah manusia lainnya. Jiwa manusia membutuhkan untuk diterima minimal oleh lingkungannya terdekat. Ada semacam anjuran yang perlu mendapatkan perhatian dalam membina hubungan erat dalam pergaulan hidup. Kalau merasa diri kurang kuat bersahabatlah dengan yang kuat dengan demikian tidak akan ada rasa cemas. Jika ajaran brata ahimsa tidak dipelihara maka ia akan menyebabkan berkembangnya sifat-sifat kemarahan, kebingungan, iri hati, dan bahkan dapat menumbuh suburnya hawa nafsu yang menggebu-gebu, sebagai musuh di dalam diri kita yang paling sulit diatasi.

makalah agama 2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 TRI HITA KARANA

2.1.1 PENGERTIAN

Tri Hita Karana, berasal dari bahasa Sansekerta. Tri berarti tiga dan hita karana berarti penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri hita karana terdiri dari: Perahyangan yaitu hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan yang Maha Esa, Pawongan artinya hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, dan Palemahan artinya hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup Tri Hita Karana ini muncul berkaitan dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali. Bukan saja berakibat terwujudnya persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam bermasyarakat, juga merupakan persekutuan dalam kesamaan kepercayaan untuk memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Dengan demikian suatu ciri khas desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok, yakni: wilayah,masyarakat,dan tempat suci untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi. Perpaduan tiga unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya rasa hidup yang nyaman, tenteram dan damai secara lahiriah maupun bathiniah. Seperti inilah cermin kehidupan desa adat di Bali yang berpolakan Tri Hita Karana.

2.1.2 BIDANG GARAPAN

Adapun bidang garapan Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat, adalah sebagai berikut :
 Bhuana Agung atau Karang Desa, alam atau wilayah territorial dari suatu desa adat yang telah ditentukan secara definitif batas kewilayahannya dengan suatu upacara keagamaan.
 Krama desa adat, yaitu kelompok manusia yang bermasyarakat dan bertempat tinggal di wilayah desa adat yang dipimpin oleh bendesa adat serta dibantu oleh aparatur desa adat lainnya, seperti kelompok Mancagra, Mancakriya dan pemangku, bersama – sama masyarakat desa adat membangun keamanan dan kesejahteraan.
 Tempat suci adalah tempat untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai pujaan bersama yang diwujudkan dalam tindakan dan tingkah laku sehari – hari. Tempat pemujaan ini diwujudnyatakan dalam Khayangan Tiga. Setiap desa di Bali wajib memilikinya. Khayangan Tiga itu adalah Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem. Khayangan Tiga di desa di adat Bali seolah – olah merupakan jiwa dari karang desa yang tak terpisahkan dengan seluruh aktifitas dan kehidupan desa.

2.2 IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DALAM MASYARAKAT

Di dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, kesehariannya menganut pola Tri Hita Karana. Tiga unsur ini melekat erat setiap hati disanubari orang Bali. Penerapannya tidak hanya pada pola kehidupan desa adat saja namun tercermin dan berlaku dalam segala bentuk kehidupan berorganisani, seperti organisasi pertanian yang bergerak dalam irigasi yakni Subak. Sistem Subak di Bali mempunyai masing-masing wilayah subak yang batas-batasnya ditentukan secara pasti dalam awig-awig subak. Awig-awig memuat aturan-aturan umum yang wajib diindahkan dan dilaksanakan, apabila melanggar dari ketentuan itu akan dikenakan sanksi hukum yang berlaku dalam persubakan. Tri Hita Karana persubakan menyangkut adanya sawah sebagai areal, ada krama subak sebagai memilik sawah, dan ada Pura Subak, atau Ulun Suwi tempat pemujaan kepada Tuhan/Sang Hyang Widi dalam manisfestasi sebagai Ida Batari Sri, penguasa kemakmuran. Desa adat terdiri dari kumpulan kepala keluarga - kepala keluarga, mereka bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Setiap keluarga menempati karang desa yang disebut karang sikut satak. Disinilah setiap keluarga mengatur keluarganya. Kehidupan mereka tak lepas dari pola kehidupan Tri Hita Karana. Di setiap rumah/karang desa yang didiami di Timur Laut pekarangan ada Pemerajan/Sanggah Kemulan(Utama Mandala) tempat pemujaan Sang Hyang Widhi oleh keluarga. Bangunan Bale Delod tempat kegiatan upacara, dapur, rumah ada di madya mandala. Dan Kori Agung,Candi Bentar,Angkul-angkul,sebagai pintu masuk pekarangan terletak di batas luar pekarangan. Di samping itu ada teba letaknya di luar pekarangan sikut satak yakni untuk bercocok tanam seperti pisang, manggis, pepaya dan nangka,dan tempat memelihara hewan seperti ayam, babi, sapi, kambing dan lainnya, untuk sarana kelengkapan upacara adat. Setiap unit kehidupan masyarakat Hindu di Bali selalu di atur menurut pola konsepsi Tri Hita Karana.
Pola ini telah mencerminkan kehidupan yang harmonis bermasyarakat di Bali. Tidak saja dicerminkan dalam kehidupan orang Bali saja, juga kepada mereka yang bukan orang Bali akan diperlakukan sama oleh orang Bali. Banyak para peneliti mancanegara mengadakan penelitian tentang pola kehidupan ini. Sistemnya memang beda dan unik dibandingkan dengan masyarakat lain di Indonesia. Demikian adanya penerapan konsepsi Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Hindu khususnya di Bali. Bilamana penerapan Tri Hita Karana ini dapat ditebarkan dalam wilayah yang lebih luas di luar sana ,dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh niscaya kesejahteraan, kemakmuran dan kerahayuan memungkinkan terwujud secara nyata. Hidup rukun sejahtera dirghayu dirgayusa, gemah ripah loh jiwani.

2.2.1 TRI HITA KARANA, KAITANNYA DENGAN “NYEPI”
Nyepi yang dilaksanakan oleh pemeluk Hindu-Bali setiap penanggal ping pisan sasih kadasa (tanggal satu bulan ke-10 menurut kalender Saka-Bali) dalam rangka merayakan tahun baru Saka, adalah salah satu pelaksanaan Tri Hita Karana. Sehari sebelum Nyepi dilaksanakan upacara tawur kasanga (bhuta yadnya pada akhir bulan ke-9). Bhuta Yadnya dalam kaitan ini berarti “korban yang diadakan untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan alam”. Pada saat Nyepi, umat Hindu-Bali melaksanakan catur berata (empat pantangan), yaitu:
1. Amati karya (tidak bekerja)
2. Amati gni (tidak menyalakan api atau membakar sesuatu)
3. Amati lelungaan (tidak bepergian)
4. Amati lelanguan (tidak menghibur diri atau bersenang-senang)
Dengan demikian, aplikasi Tri Hita Karana dalam perayaan Nyepi terlihat dengan jelas, baik dari aspek parhyangan, pawongan, maupun palemahan:
1. Aspek parhyangan terlihat di saat Nyepi, umat Hindu-Bali melakukan samadi, dan bersembahyang memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi.
2. Aspek pawongan terlihat adanya kegiatan dharma santih, yakni saling berkunjung dan bermaaf-maafan.
3. Aspek palemahan terlihat dari tujuan tawur kesanga seperti yang diuraikan di atas, dan dengan adanya catur berata, manusia tidak mengotori udara dengan gas-gas buangan hasil pembakaran atau dikenal dengan istilah emisi gas rumah kaca.
2.3 IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DI SUATU DAERAH ( SERIRIT )
Dalam kehidupan sehari – hari atau kehidupan suatu desa hamper seluruhnya sudah menerapkan konsep Tri Hita Karana. Contohnya saja di desa teman kami Sulis yang bertempat di Seririt , sudah banyak warga yang sadar tentang Tri Hita Karana ini. Contoh nyata yang dapat kita lihat adalah jika ada Hari Raya Galungan dan Kuningan, serrta odalan di setiap pura kita sebagai warga masyarakat pasti akan melaksanakan persembahyangan. Hal ini kita lakukan sebagai wujud bahwa kita memja dam mempercayai keberadaan Ida Sang Hyang Widi Wasa yang akan selalu memberkati dan juga melindungi kita semua. Dengan kata lain kita mewujudkannya dengan upacara yadnya. Selain itu di dalam kehidupan kita selalu berhubungan dengan lingkngan, kita harus selalu menjaga kebersihan lingkungan kita . Misalnya setiap hari Minggu kami mengadakan kerja bakti dengan warga sekitar untuk membersihkan lingkngan desa. Hal ini dapat kita masukkan dalam perwujudan kita sebagai hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ) dalam bentuk kepedulian. Dan kita juga sering melaksanakan upacara bhuta yadnya , hal ini kita lakukan agar kita tidak diganggu oleh makhluk halus lainnya, dapat kita laksanakan dengan meaturan canang sari dibawah ( di tanah ) dan ngejot. Dan yang terakhir adalah hubungan antara manusia dengan manusia. Kita sebagai makhluk sosial tentu sudah ditakdirkan tidak dapat hidup sendiri tanpa bantual dari orang lain. Dalam kehidupan ini seharusnyalah kita selu saling menghormati dan menghargai antar sesama agar tercipta suatu keharmonisan dalam kehidupan ini. Namun tidak selamanya kita bisa mewujudkan keharmonisan tersebut, karena banyak juga kita jumpai masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan dan menghormati sesame dan yang paling penting kurang percaya dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Maka dari itu kita sebagai manusia harus menyadari ketiga hal tersebut agar tercipta kesejahteraan dan keharmonisan dalam suat masyarakat .

makalah agama 1

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Manusia Hindu
Dalam konsep Hindu, manusia pertama adalah Svambhu, yang artinya makhluk berpikir pertama yang menjadikan dirinya sendiri. Secara etimologi kata manusia berasal dari kata manu yang artinya pikiran atau berpikir, dalam bentuk genetif menjadi kata “manusya”, artinya ia yang berpikir atau menggunakan pikirannya. Menurut konsep Hindu, manusia adalah kesatuan antara badan jasmani dan jiwa (atman) menjadikan ia secara psikopisik terus berkembang. Secara kosmologis, manusia ( yang berupa kesatuan jiwa badan jasmaninya ) yang sering disebut mikrokosmos ( bhuana alit ) yang merupakan perwujudan dari makrokosmos ( bhuana agung ). Manusia juga dikatakan sebagai makhluk Tri Pramana karena memiliki tiga kemampuan utama yaitu berpikir, berkata dan berbuat, yang menyebabkan ia berbeda dengan makhluk lainnya. Dengan kemampuan berpikir, berkata dan berbuat, manusia melakukan perbuatan baik dan perbuatan buruk yang disebut subha asubha karma. Dengan mengutamakan perbuatan baik yang disebut subha karma inilah manusia mampu menolong dirinya sendiri, mengangkat dirinya dari kesengsaraan. Inilah keistimewaan lahir menjadi manusia. Dimana tidak dimiliki oleh makhluk lain selain manusia.
Secara umum manusia senang pada keindahan, baik itu keindahan alam maupun seni, dan yang merupakan musuh besar manusia menurut agama Hindu yang disebut Sad Ripu. Sad Ripu ini berada di dalam diri setiap manusia dimana sifat – sifat tersebut akan mempengaruhi watak dan perilaku manusia. Itulah sebabnya watak dan perilaku manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sad Ripu tidak bisa kita hilangkan karena begitu melekat dalam diri manusia. Satu – satunya cara adalah dengan mengendalikannya. Untuk itu, kita harus bisa mengendalikan sifat tersebut agar nantinya kita mendapat ketenangan di dalam diri. Jika hati kita tenang, maka pikiran pun akan tenang untuk menghasilkan pemikiran – pemikiran yang jernih. Dari pemikiran yang jernih kita senantiasa akan berkata dan berbuat yang baik.
3
2.2 Konsep Manusia Hindu
Konsep Hindu mengatakan bahwa manusia terdiri dari 2 unsur, yaitu jasmani dan rohani. Dimana jasmani adalah badan, tubuh manusia sedangkan rohani merupakan hakekat Tuhan yang abadi, kekal, yang disebut dengan Atman. Manusia memiliki 3 lapisan badan yang disebut Tri Sarira yang terdiri dari Stula Sarira, Suksma Sarira, dan Anta Karana Sarira. Stula Sarira atau raga manusia dalam konsep Hindu terdiri dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta yaitu Pertiwi, Apah, Teja, Bayu, Akasa. Tubuh manusia merupakan Bhuana Alit atau Bhuana Sarira. Proses terbentuknya pun sama seperti proses terjadinya Bhuana Agung atau alam semesta. Sedangkan Suksma Sarira yaitu badan halus yang terdiri 3 unsur yang disebut Tri Antahkarana terdiri dari manas atau alam pikiran, Buddhi atau kesadaran termasuk didalamnya intuisi dan Ahamkara atau keakuan atau ego. Dalam Suksma Sarira terdapat unsur halus dari Panca Maha Bhuta yang disebut Panca Tan Matra yaitu ; Sabda, Sparsa, Rupa, Rasa, Gandha membentuk berbagai indra ( Panca Buddhindriya dan Panca Karmendriya). Sedangkan Anta Karana Sarira merupakan unsur rohani yaitu jiwatman sendiri yang sifatnya sama seperti paramaatman, kekal abadi.
Manusia secara harpiah, berasal dari kata manu yang artinya mahluk yang berpikir. Jadi manusia merupakan mahluk yang telah dibekali salah satu kelebihan dibandingkan mahluk lainnya. Dalam Hindu terdapat konsep Tri Pramana, yang terdiri dari Bayu, Sabda , Idep. Tumbuhan hanya memiliki bayu atau tenaga untuk tumbuh, sedangkan binatang memiliki bayu dan sabda dimana binatang memiliki tenaga untuk bertumbuh, berkembang dan mengeluarkan suara, sedangkan manusia memiliki ketiganya. Pikiran hanya dimiliki oleh manusia yang telah dibekali sejak dilahirkan. Dengan memiliki pikiran maka diharapkan manusia mempunyai wiweka mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Pikiran dipakai berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan. Dengan pikirannya, manusia diharapkan mengetahui asal, tujuan, tugas serta kewajibannya. Dengan mengetahui hal ini maka pola hidup serta cara pandangnya terhadap kehidupan akan mampu mengilhami setiap tindakannya sehingga tetap berada pada jalur yang benar, sesuai etika dan ajaran-ajaran dharma yang telah diungkapkan dalam ajaran agama. Namun manusia juga termasuk makhluk yang lemah, karena tidak seperti binatang yang lahir begitu saja langsung bisa berdiri, terbang, berjalan tanpa memerlukan bantuan dari yang lain. Maka hendaknya ini dipahami terlebih dahulu untuk mengetahui dan dapat memisahkan
4
esensi dari raga ini yang terpisah dengan atman yang sejati.

2.3. Tujuan Hidup Manusia menurut Agama Hindu
Setiap kelahiran jika dipahami, sesungguhnya manusia membawa perannya masing-masing. Manusia yang telah melakukan perenungan secara mendalam dengan pikiran yang jernih akan bertanya, apa sesungguhnya yang menjadi tujuan hidupnya. Ada 2 macam tujuan hidup manusia yaitu tujuan duniawi dan spiritual.Tujuan duniawi berupa keinginan untuk mengejar harta, kekayaan dan keinginan. Sedangkan tujuan spiritual yaitu keinginan untuk bersatu kepada yang hakekat dan asal yang sesungguhnya. Dalam Hindu, tujuan hidup manusia terdapat dalam Catur Purusartha. Yang terdiri dari 4 bagian yaitu : Dharma, Artha, Kama Moksa. Dharma merupakan ajaran kebenaran, sebagai pandangan hidup, tuntunan hidup manusia. Artha yaitu kekayaan yang berupa materi. Kama merupakan keinginan dan Moksa yaitu bersatunya sang diri atau jiwatman dengan yang lebih tinggi atau Paramaatman. Jadi jelas dalam hidup manusia selalu mengejar artha, kama dan moksa. Namun dalam mengejar artha dan kama harus berdasarkan dharma, kebajikan dan kebenaran, bukan dengan cara-cara yang tidak baik. Penyatuan kepada yang hakekat merupakan tujuan yang harus dicapai manusia dengan berdasarkan etika keagamaan dan dharma yang telah ditentukan. Pembangkitan kesadaran bahwa kita merupakan salah satu bagian dari pada esensi dunia ini merupakan hal yang harus dicapai agar pikiran dapat terbuka, menyadari hakekat sang diri. Harapan tersebut dapat terwujud dengan mengimplementasikan ajaran dharma. Dalam pustaka suci Hindu telah disebutkan bahwa menjelma menjadi manusia merupakan suatu keberuntungan dan hal yang utama. Dengan manas atau pikiran yang dimiliki, maka manusia dapat menolong dirinya sendiri dari keadaan samsara dengan jalan berkarma yang baik. Kesadaran akan mampu meluruskan pikiran yang selalu hanya mementingkan kehidupan duniawi.
Dalam Sàrsamuccaya 8 disebutkan ;
Mànusyam durlabham pràpya vidyullasita cañcalam,
bhavakûayem atiá kàyà bhavopakaraóesu ca.
5
artinya ;
Menjelma menjadi manusia itu, sebentar sifatnya, tidak berbeda dengan kerdipan petir, sungguh sulit (didapat), karenanya pergunakanlah penjelmaan itu untuk melaksanakan dharma yang menyebabkan musnahnya penderitaan. Sorgalah pahalanya.
Tentang tujuan hidup manusia, setiap orang tentunya mempunyai pandangan masing-masing, dan berdasarkan pandangannya itu mereka mengusahakan untuk mencarinya. Dalam mewujudkan tujuan hidupnya itu, tidak sedikit orang yang hanya mementingkan diri, egois merasa benar sendiri dan harus selalu menang dan mampu mengalahkan yang lain. Pendidikan yang keliru, misalnya sejak anak-anak telah ditanamkan bahwa orang tuanya berasal dari golongan yang kaya, derajatnya tinggi, bangsawan dan memandang rendah mereka para rakyat jelata, para pekerja, buruh, pembantu rumah tangga dan sebagainya, padahal belum tentu orang yang dipandang rendah martabatnya, karena lahir dari keluarga yang dianggap rendah tidak memiliki budhi pekerti yang luhur. Dalam kehidupan masyarakat, tidak sedikit kita memperhatikan di lingkungan kita anak-anak yang sejak dini menganggap orang yang karena kelahiran dari keluarga petani, peternak, buruh, nelayan dan pekerja pada umumnya derajat dianggap rendah, mengembangkan sifat yang arogan, egostis, tidak peduli dengan lingkungan dan minta selalu dihormati. Dalam kehidupan modern dewasa ini, seseorang menghargai orang lain dari penampilannya, sikapnya yang sopan, lemah lembut, tutur katanya manis dan ramah dan memancarkan budhi pekerti yang luhur. Orang-orang yang demikian keadaannya, apalagi sangat giat belajar, giat bekerja, rendah hati dan ramah, serta memiliki keimanan yang tinggi senantiasa akan mendapatkan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa, karena pada dirinya memancarkan kasih sayang yang sejati. Ketika seseorang merenung dengan dalam tentang arti dan tujuan hidupnya, maka bagi mereka yang mendalami ajaran Agama Hindu, tujuan hidup yang pertama adalah mewujudkan Dharma yakni kebajikan, kebaikan, kebenaran, kasih sayang, taat kepada hukum dan taat kepada ajaran agama. Dan tujuan akhir adalah untuk mencapai moksa yaitu bersatunya atma dengan paramatma.

6
2.4. Tugas dan Kewajiban sebagai Manusia Hindu
Kecendrungan manusia yang lupa terhadap tujuannya karena pengaruh kenikmatan duniawi telah merubah prilaku manusia untuk menyimpang dari ajaran kebenaran. Kenikmatan duniawi tiada berkesudahan ini mempengaruhi prilaku manusia sehingga jalan apapun terkadang dihalalkan. Sesuai dengan tujuan yang mesti di capai manusia yaitu suatu penyatuan kepada yang tertinggi, maka ini dibarengi dengan tindakan yang searah dengan tujuan tersebut. Tujuan tersebut mustahil akan tercapai jka arah dan jalan yang ditempuh itu salah. Maka hal pertama yang menjadi tugas manusia adalah menjalankan Dharma. Menjalankan etika dan ajaran-ajaran yang mulai dilupakan maka keseimbangan dunia akan terganggu. Manusia memiliki tanggungjawab untuk menjaga keseimbangan ini. Dengan pikiran yang dimiliki, manusia mampu membuat kehidupan ini menjadi baik maupun hancur. Untuk itulah, tugas dan kewajiban utama manusia adalah mengamalkan dan melaksanakan ajaran Dharma ( kebajikan yang utama ), dengan melaksanakan berbagai yadnya demi terjaganya keseimbangan alam semesta.
Dalam Bhagawad Gita telah banyak dijelaskan tentang 4 jalan yang disebut Catur Marga Yoga, empat jalan yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan lahir bhatin yaitu : Bhakti Marga Yoga, Karma KarmaYoga, Jnana Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Rahasia kebahagiaan dari ke 4 ajaran Yoga merupakan jalan dari hakekat kehidupan manusia agar dapat bersatu dengan Tuhan. Apapun kesulitan kita hendaknya tetap berpegang teguh pada ajaran dharma tanpa ada keraguan yang hanya akan membuat kita kembali jatuh ke dunia material yang penuh dengan kesenangan sementara. Ikatan keluarga hanya ada pada kehidupan ini, namun jika kita sudah mengetahui konsepsi sebagai manusia, maka hal itu tidak akan membuat kesadaran kita goyah.
Setiap manusia telah menentukan sendiri jalan hidupnya sehingga itu bukan alasan untuk berpaling dari jalan yang telah diyakininya. Seseorang tidak bisa ikut campur tangan atas karma orang lain sehingga kita hendaknya berusaha melepaskan keterikatan tersebut. Kesenangan duniawi hanya memberikan kebahagiaan sementara bagi indra-indra manusia. Itu bukanlah kebahagiaan yang sejati karena yang sejati itu tak dapat dilukiskan dengan kata-kata semata.

makalah agama 7

BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Pandangan Hukum Mengenai Keadilan Berbangsa dan Bernegara
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-pemabatasan.
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas.
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran hukum dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui.
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis, karena yang dinamakan adil adalah apabila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun, dan seterusnya, karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut, terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.
Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.
Merumuskan konsep keadilan ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modern yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “Apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur menjalankan prosedurnya dengan baik dimana prosedur tersebut ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi. Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya “trials without truth”.
Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari pemenang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progrsif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh permainan prosedur. Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.


2.2. Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya.
Berdasarkan hal itu, maka kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan kedalam skema hukum.
Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, memiliki pengertian bahwa hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.


2.3. Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku
Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku. Peraturan akan membangun sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu. Jadi asumsi yang dibangun disini menyatakan bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya.
Dengan menempatkan aspek perilaku diatas aspek peraturan, maka faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion (perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare (keberanian), serta determination (kebulatan tekad).

Kamis, 09 Desember 2010

IEC Assignment

WH-QUESTIONS
Exercise 2: Ask questions to fill the gaps with the missing information
Student A
Frank was born in ______ (where?) in 1977. He went to school in Buenos Aires for ______ (how long?) before moving to Denver. He misses _______ (what?), but he enjoys studying and living in Denver. In fact, he _____ (what?) in Denver for over 4 years.Currently, he _________ (what?) at the University of Colorado where he is going to receive his Bachelor of Science next ______ (when?). After he receives his degree, he is going to return to Buenos Aires to marry _____ (who?) and begin a career in research. Alice ______ (what?) at the University in Buenos Aires and is also going to receive ______ (what?) next May. They met in _____ (where?) in 1995 while they were hiking together in the ______ (where?). They have been engaged for ________ (how long?).
Student A
The last few weeks have been very difficult for my friend ______. He discovered that he hadn't insured his car after his car was stolen __________. He immediately went to his insurance agent, but she told him that he had only bought ____________, and not against theft. He became really angry and ________________, but, of course, he didn't do that in the end. So, he hasn't been driving for the past two weeks, but ___________ to get to work. He works at a company about 15 miles from his home in __________. It used to take him only twenty minutes to get to work. Now, he has to get up at ___________ in order to catch the seven o'clock bus. If he had more money, he would ___________. Unfortunately, he had just spent most of his savings on an _____________ before his car was stolen. He had a wonderful time in Hawaii, but he now says that if he hadn't gone to Hawaii, he wouldn't be having all these problems now. Poor guy.

WH-QUESTIONS
Exercise 2: Ask questions to fill the gaps with the missing information
Student B
Frank was born in Buenos Aires in ______ (when?). He went to school in _______ (where?) for 12 years before moving to ______ (where?). He misses living in Buenos Aires, but he enjoys ________ (what?) in Denver. In fact, he has lived in Denver for ______ (how long?). Currently, he is studying at the ______ (where?) where he is going to receive his _______ (what?) next June. After he receives his degree, he is going to return to _____ (where?) to marry his fiance Alice and begin a career in ______ (what?). Alice studies Art History at the ________ (where?) and is also going to receive a degree in Art History next _____ (when?). They met in Peru in _____ (when?) while they _______ (what?) together in the Andes. They have been engaged for three years.
Student B
The last few weeks have been very difficult for my friend Jason. He discovered that _______________ after his car was stolen three weeks ago. He immediately went to his ___________, but she told him that he had only bought a policy against accidents, and not ________. He became really angry and threatened to sue the company, but, of course, he didn't do that in the end. So, he hasn't been ___________ for the past two weeks, but has been taking the bus to get to work. He works at a company about __________ from his home in Davonford. It used to take him ____________ to get to work. Now, he has to get up at six o'clock __________________________. If he had more money, he would buy a new car. Unfortunately, he had just __________________ on an exotic vacation to Hawaii before his car was stolen. He had a wonderful time in Hawaii, but he now says that if _______________, he wouldn't be having all these problems now. Poor guy.

Here is I attach the assignment. pay attention on the instruction!
Instruction:
1. Students work in pairs
2. One becomes student A and the other one becomes student B
3. A/B makes questions based on the question words provided in the text. For the second exercise, write directly the questions
4. Ask the questions to the pair and write down their answer on your sheet and vice versa
5. Write down the answers as what your partner gives. Do not revise anything
6. Submit your sheet and bind it with your partner's
7. The submission date is on Monday at 9 a.m.

Good Luck

ttd ms.suarsini


IMPORTANT : This assignment is submitted on Tuesday at AB period! be on time and work in pairs! ( each group consist of 2 people)


blogger: Chintya